Tuesday, February 17, 2009

Akhir Perjalanan DUkun Cilik Ponari dari JOmbang


Kesibukan Ponari memgobati pasien berakhir. Ponari memulai untuk menjadi anak biasa. Ponari berencana kembali ke bangku sekolahnya.

Wajah Ponari tampak lemas saat menjalani pengobatan di RS Bhayangkara siang kemarin. Bocah berumur sembilan tahun itu tak sedikit pun mengumbar senyum. Dengan digendong salah satu anggota TNI dan diantar dua orang tuanya, Ponari terlihat kelelahan.

Rasa capek yang menghinggapi Ponari ini bisa dibilang wajar. Sehari sebelumnya, ia harus meladeni sekitar 6.500 pasien dalam waktu hanya 2,5 jam, sebelum polisi menutup paksa praktik pengobatan supranatural yang kondang sebulan ini. Tanpa berkata apa pun, ia menundukkan kepala di atas pundak pria yang menggendongnya keluar dari rumah sakit.

Impian puluhan ribu calon pasien lainnya yang ingin sembuh di tangan Ponari, harus dipendam dalam-dalam. Bahkan untuk bertemu Ponari saja dalam beberapa hari ke depan, dipastikan akan sulit. Ponari akan dijaga ketat oleh aparat kepolisian untuk mengembalikan hak-hak Ponari sebagai anak-anak yang harus belajar dan suka bermain.

Kedua orang tua Ponari telah memutuskan agar anak semata wayangnya itu kembali ke bangku sekolah. Terhitung tiga minggu lebih, Ponari tak duduk di kursi kayu yang ada di dalam kelasnya. Sejak didapuk puluhan ribu orang sebagai “anak sakti” yang bisa menyembuhkan beragam penyakit, Ponari telah kehilangan hak menimba ilmu di sekolah.

Ia harus rela meluangkan waktu untuk belajar di rumah secara private bersama guru kelasnya. Kondisi membludaknya pasienlah yang memaksa kondisi seperti ini. Desakan beberapa orang dan rasa kasihan terhadap sesama yang sakit, pihak keluarga mengorbankan sementara masa depan pendidikan Ponari.

Kali ini, orang tua Ponari sudah menebus pengorbanan itu, dan mulai memperlakukan anaknya sebagai anak biasa yang masih butuh waktu istirahat dan masa bersenang-senang. Ponari, dipandang puluhan ribu orang sebagai anak ajaib yang mampu memberikan setitik harapan bagi mereka yang sakit.

Dengan batu berwarna kuning keemasan yang ia miliki, Ponari mampu menumbuhkan sugesti para pasiennya. Tanpa perlu memberikan jampi-jampi, dan hanya mencelupkan batu itu ke dalam air mineral, Ponari dianggap sebagai “Dewa Penyembuh”.

Terkesan asal-asalan. Itulah yang ditampakkan Ponari saat mengobati pasiennya. Sekali antrean, tiga ratus pasien bisa ia selesaikan. Dan dengan gaya khasnya, Ponari selalu bermain telepon selulur di atas pundak orang yang menggendong saat mencelupkan batu saktinya itu ke dalam air mineral.

Bahkan, Ponari sendiri enggan melakukan pengobatan itu sendirian. Untuk sekadar mencelupkan batu, ia harus dibantu orang yang menggendongnya.

Ya, Ponari menjadi bocah yang fenomenal. Menurut cerita orang tuanya, bocah ini mendapat karunia setelah tersambar petir sekitar dua bulan lalu. Saat itu, bocah bertubuh kurus dan terlahir dari keluarga yang sangat sederhana ini mendapati “batu ajaib” sesaat setelah petir menyambar di atas kepalanya. Batu yang berwarna kuning keemasan ini, tiba-tiba berada tepat di atas rambut kepalanya.

“Cerita Ponari seperti itu. Setelah dapat batu itu, dia lantas membawa batunya ke rumah. Saat itu, dia sedang dengan beberapa temannya di salah satu kebun milik tetangga, dalam kondisi hujan rintik-rintik,” aku Mukharomah.

Peristiwa aneh ini, lantas terdengar telinga kakeknya. Seketika, kakek Ponari menyarankan kepada orang tuanya untuk membuang jauh-jauh benda gepeng sebesar telur ayam itu. Namun, tiga kali dibuang, tiga kali pula batu itu kembali ke halaman rumah Ponari yang berukuran 4 X 6 meter dan berdinding bambu. “Setelah itu, Ponari menyimpannya. Dan dia bilang, batu ini bisa menyembuhkan orang yang sakit,” ceritanya.

Mencoba membuktikan “gurauan” anaknya, Mukharomah dan Kamsin lantas meminta Ponari untuk menyembuhkan salah satu kerabatnya yang saat itu sedang sakit demam tinggi. Tanpa dinyana, pasien pertamanya itu sembuh. “Mendengar keajaiban ini, tetangga sekitar yang sedang sakit mencoba untuk disembuhkan. Dan ternyata semuanya sembuh juga,” akunya.

Itulah awal mula yang membuat sisi “bencana” sendiri bagi Ponari. Kemampuannya mengobati orang sakit, terdengar hingga penjuru kota. Hingga, ia tak lagi memiliki waktu untuk bermain dan sekolah, lantaran lautan pasien yang mengharap kesembuhan darinya. Jalan desanya yang masih berlapis tanah itu, sempat menjadi loyang bubur lumpur lantaran banyaknya kaki yang menginjak meski hujan turun.

Di mata orang tuanya, Ponari tak memiliki kelebihan sebelumnya. Selain tak menunjukkan sikap anak layaknya paranormal, prestasinya di sekolah juga dalam ukuran wajar. “Biasa saja. Dari kecil, anak saya ini hidup dalam keterbatasan. Karena kondisi ekonomi kami serba kekuarangan,” tukas Kamsin,” ayah Ponari menimpali.

Kamsin sendiri juga tak memiliki riwayat magis seperti Ponari. Bahkan, bapak yang sama sekali tak mengenyam bangku sekolah ini tak pernah membayangkan jika akan memiliki anak yang kemampuannya diakui banyak orang. Yang ia tahu, kelebihan Ponari itu bisa mendatangkan rezeki sendiri bagi keluarganya.

“Ponari tak penah memasang tarif. Karena itu, banyak pasiennya yang sembuh justru memberi lebih. Ada yang membelikan batu bata untuk membangun rumah. Juga beras untuk makan kami sekeluarga,” katanya dengan bahasa Jawa kental.

Dia juga tak membantah jika putranya tersebut telah banyak menolong orang yang sakit. Mata kepalanya sendiri menyaksikan, ada pasien lumpuh yang tiba-tiba bisa pulang dengan berjalan kaki setelah minum air rendaman batu Ponari.

“Bayak yang menyaksikan. Karena itu, pasien Ponari semakin hari semakin banyak,” katanya sembari menyebut beragam penyakit baik penyakit dalam, bisu, hingga tuli yang berhasil disembuhkan melalui tangan anaknya.

Tak hanya keluarga saja yang ketiban rezeki. Sejumlah warga juga menuai untung secara ekonomi. Sejak praktik ini ramai, banyak warga yang memilih mendirikan warung dadakan, juga tempat parkir seta jasa lain yang komersil. Tak hanya itu, jalanan desa yang sebelumnya berlapis tanah, kini berubah menjadi paving yang biaya pembangunannya diambil dari penjualan kupon antre senilai Rp1.000 per lembar itu.

No comments: